1. KELAHIRAN DAN MASA KECIL
Di desa Tagung, tuntang , terdapatlah pesantren kecil yang diasuh oleh KH Moeslih putra KH Mustaqim Sawahan. Konon, menurut cerita, sebelumnya desa ini terdapat pohon bamboo luloh yang oleh masyarakat sekitar dianggap angker. Pernah suatu ketika kambing yang melintas terkena daunnya tak lama erselang kambing tersebut mati. Oleh mbah Moeslih bambu tersebut ditebangi dan dibuka desa Taman Sari dan didirikan pesantren.
Kiai yang merupakan salah satu murid Kiai Raden Ma’sum Punduh ini, hidup dengan istrinya yang bernama Nyai Aisyah salah satu putri gurunya yang bernama KH Abdul Hadi Nglembu. Mereka membina keluarga dengan sangat sederhana, selayaknya keluarga yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Dari pasangan inilah kelak terlahir bayi laki – laki yang bernama Mas’ud, bayi yang akan mengharumkan nama keluarga ini terlahir disaat bangsa Indonesia berusaha keras merebut kemerdekaan, dari kecil telinganya sudah terbiasa mendengar bunyi senapan dan dentuman bom. Telah merasakan penderitaan bangsa yang dijajah. Sehingga menjadinnya pribadi yang gigih, pemberani, dan sangat benci dengan segala macam tindakan mungkar.
Mas’ud kecil, merupakan salah satu dari empat bersaudara. Ia masih memiliki dua orang kakak bernama Muhammad Sam’ani dan Ahmad Zaeni sedangkan adiknya bernama Masrur. Terlahir dari keluarga pesantren mereka semua mendapat pendidikan agama sejak kecil. Sudah menjadi adat Kiai jaman dulu yang menginginkan putra-putranya meneruskan perjuangan ayahnya. Mungkin atas dasar itu yang menjadikan KH Moeslih mengenalkan agama dalam mengasuh anak-anaknya.
Di Saat kelahiran Masrur Inilah, keluarga KH Moeslih mendapat ujian dari Allah SWT. KH Moeslih harus kehilangan istri yang sangat ia cintai. Nyai Aisyah meninggal ketika melahirkan putranya yang ke empat Masrur yang juga meninggal bersama ibunya. Duka mendalam dirasakan keluarga kerena harus kehilangan teman hidup yang setia menemani KH Moeslih dalam mensiarkan agama islam. Waktu itu Mas’ud kecil kira – kira berumur 6 tahun. Usia yang sebenarnya masih sangat membutuhkan belaian kasih saying seorang ibu, namun taqdir berkat sebaliknya. Ternyata telah menjadi garis hidup yang ditetapkan oelh Allah SWT bahwa setiap yang nantinya akan menjadi orang besar harus menempuh pahitnya hidup dari kecil. Demikian pula yang dialami oleh ulama – ulama besar.
Setelah sepeninggal Nyai Aisyah, KH Moeslih berniat untuk memperistri lagi, beliau ahirnya sempat menikah dengan wanita asal banyu biru, namun karena bukan jodoh, ahirnya pasangan ini harus mengakhiri bahtera rumah tangga mereka. Yang hingga pada ahirnya KH Moeslih dipertemukan dengan wanita asal Gilang bernama Nyai Dadiyah. Yang menjadi ibu tiri Mas’ud kecil beserta kedua kakaknya. Alasan ini yang menyebabkan KH Moeslih hijrah ke Gilang.
Mengetahui, KH Moeslih dan keluarganya pindah ke Gilang Masyarakat Tagung memberikan kayu jati, sengon dan bamboo untuk dijadikan rumah beliau, namun anehnya, oleh KH Moeslih kayu jati dan sengon dibuat untuk pesantren, sedang rumahnya dari bambu.
Saat itu juga, Desa Gilang dalam keadaan Fatroh, yaitu tidak adanya pencerah dan pembimbing dalam menjalankan apa yang menjadi perintah agama mereka. Syi’ar agama yang dibawa KH Moeslih ke Desa itu mendapatkan respon positif dari warga sekitar. Setiap harinya beliau mengaji. Bukan hanya mengaji dengan anak – anak di desa tersebut, tapi juga mengaji dengan para warga yang sudah menginjak usia lanjut. Pada sore hari Mbah Moslih mengaji dengan anak – anak, beliau mengajarkan ilmu ubudiyyah kepada anak – anak itu. Mereka diajari Fasholatan, turutan, Kitab Kuning Safinah dan lain – lainnya. Ditengah kesibukan beliau membina umat, bukan berarti beliau melupakan kewajibannya. Beliau masih memiliki anak yang harus dididiknya, oleh karenanya Mas’ud kecil dan kedua kakaknya tak luput dari pengawasan beliau.
Berkat kehadiran KH Moeslih di Desa Gilang, kini berakhirlah masa fatroh di Desa tersebut. Dan Kini, mereka mendapatkan seseorang yang bisa membimbing dan mengajari mereka tentang ilmu agama , yang sebelumnya mereka tidak dapatkan.
Di Gilang KH Moeslih mengahiri hidupnya. Allah SWT telah megatur kapan, dimana dan bagaimana mereka menemui ajal mereka. Kalau sudah waktunya maut akan menjemput, tidak ada seorangpun yang mampu dan kuasa untuk menghindarinya. Tidak pula dapat diundur ataupun dimajukan barang semenit bahkan sedetikpun. Karena tepat pada detik yangtelah ditentukan Oleh Robbul Alamin, mereka akan menghadap keharibaan Allah tanpa mengetahui nasib mereka diakhirat kelak.
ari itu, tidak ada yangmenyangka bahwa desa Gilang akan kehilangan sosokpengayom umat yang menjadi panutan dan tempat mereka menimba ilmu agama. KH Moeslih wafat karena beliau mengidap penyakit Typus, (Dulunya orang – orang menyebutnya dengan penyakit Panastis, sebuah penyakit yang dirasakan suhu panas tapi dingin di sekujur tubuh).
Pergilah sudah kepala keluarga, suami, ayah juga pemimpin yang menjadi sandaran dan harapan bagi semuanya. Kini Mas’ud yang waktu itu kira – kira berusia 16 tahun, telah kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya. Hilanglah suadh kedua orang tua yang mengasihi dan menyayanginya. Kedua kakak Mas’ud Kecil, yaitu Muhammad Sam’ani dan Ahmad Zaeni telah menikah dan tinggal bersama mertua mereka sebelum KH Moeslih meniggal. Kini setelah bapaknya tiada, Mas’ud Pergi menimba ilmu ke Pesantren.
josss
ReplyDeletejosss
ReplyDelete